Sorong Selatan,Honaipapua.com, -Masyarakat adat Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, membuat sejarahnya dalam pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal. Melalui pertemuan yang digelar selama dua hari, 9-10 April 2025, perwakilan dari empat sub-suku—Gemna, Nakna, Afsya, dan Yaben—yang tersebar di lima kampung dan tiga dusun persiapan, duduk bersama Konservasi Indonesia (KI) dan berbagai lembaga pemerintah untuk menyusun dan menyepakati Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Ini merupakan dua dokumen resmi pertama dalam skema Perhutanan Sosial yang berhasil dirumuskan dan akan disahkan di wilayah Papua Barat Daya, dan menjadi langkah konkret menuju pengakuan hak atas hutan adat.
Proses penyusunan ini menjadi simbol kuat atas komitmen masyarakat adat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. Zakarias Gemnafle, warga Kampung Manelek sekaligus Ketua Komunitas Pemuda Adat Sub-suku Gemna, Nakna, Afsya dan Yaben (KPAG GENAYA), yang turut hadir dalam kegiatan ini menyampaikan bahwa RKPS dan RKT sebagai jalan menuju kemandirian. “Dokumen yang kami susun dan sepakati ini membawa kami semakin dekat kepada pengakuan dan kemandirian dalam mengelola hutan kami. Mewakili empat sub-suku di Distrik Konda, saya berharap pemerintah juga semakin cepat dalam mengesahkan hutan adat kami,” ujarnya.
Pengajuan pengakuan Hutan Adat oleh masyarakat Konda telah berlangsung sejak tiga tahun lalu, dan wilayah yang diajukan telah diverifikasi oleh tim dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Oktober 2024. Harapan akan segera terbitnya Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat masih menggantung, namun semangat masyarakat untuk tetap melangkah maju tidak surut.
Di tempat terpisah Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (DLHKP) Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, ST. M.Si., menegaskan langkah yang dilakukan oleh masyarakat ini sangat penting. “Terutama sebagai implementasi program penyuluhan dan pemberdayaan kehutanan dalam kerangka Otonomi Khusus Papua. Sementara, Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Adat itu adalah bagian dari proses untuk mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua (OAP),” sebutnya.
Kambu juga menyampaikan harapannya agar pemerintah pusat segera merespons aspirasi masyarakat adat. “Sebagai tindak lanjut dari dokumen-dokumen Perhutanan Sosial yang pertama akan disahkan di Papua Barat Daya ini, kita perlu menggenapkan percepatan pengelolaan perhutanan sosial berdasarkan Perpres Nomor 28 Tahun 2023. Mari kita bersama-sama juga mendukung langkah selanjutnya, yaitu pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial atau KUPS. Hutan adat di Konda ini adalah sumbangsih Papua Barat Daya untuk dunia. Bumi ini sudah bukan panas lagi, tetapi sudah mendidih,” kata Kelly.
Sorong Selatan merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Kajian pada tahun 2023 yang dilakukan oleh KI dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat mencatat bahwa dari total 654.900 hektar luas wilayah, sebanyak 497.522 hektar diklasifikasikan sebagai ekosistem alami bernilai tinggi. Wilayah ini mencakup 32 jenis ekosistem, termasuk hutan gambut tropis yang penting sebagai penyerap karbon dan penyedia jasa ekosistem esensial bagi masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada praktik berburu dan agroforestri. Kajian itu juga mencatat keberadaan 416 jenis tumbuhan dan 372 jenis vertebrata, termasuk 58 mamalia, 280 burung, 36 reptil, dan 14 amfibia, menjadikan Sorong Selatan sebagai kawasan konservasi penting di Papua Barat Daya.
Direktur Program Papua Konservasi Indonesia, Roberth Mandosir, menyebut bahwa dukungan terhadap Perhutanan Sosial di Distrik Konda merupakan bagian dari strategi untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan pelestarian alam melalui program KASUARI (Kuatkan Adat, Sumber Daya Alam Lestari yang mencakup kawasan hutan seluas 150.000 hektar di Sorong Selatan.
“Dukungan terhadap Perhutanan Sosial di Distrik Konda juga merupakan langkah strategis dalam memperkuat peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan dan pelestari sumber daya alam. Program KASUARI tidak hanya bertujuan untuk melestarikan kawasan hutan, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dengan melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan, program ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan ekologis dan sosial, serta menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, inisiatif ini juga mendukung pencapaian TPB yang terkait dengan pengurangan kemiskinan, keberagaman hayati, dan perubahan iklim,” papar Roberth.
Kegiatan ini tidak hanya melibatkan masyarakat dan KI, tetapi juga mendapatkan dukungan dari berbagai lembaga pemerintah, termasuk Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Maluku-Papua, Bappeda Sorong Selatan, Dinas Lingkungan Hidup Sorong Selatan, Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Koperasi dan UMKM, serta Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Unit VI Sorong Selatan dan KPHP Unit V Maybrat. “Sinergi antara masyarakat adat, lembaga konservasi, dan pemerintah ini menjadi contoh nyata kolaborasi untuk keberlanjutan lingkungan dan penguatan hak masyarakat adat,” imbuh Roberth. (***)