Sorong,Honaipapua.com, -Frengki Ijie, mewakili komunitas keluarga besar Ijie dan Wafom, menyampaikan surat terbuka kepada Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat Daya (PBD). Surat tersebut berisi pengaduan sekaligus permohonan fasilitasi penyelesaian masalah tanah adat yang telah berlarut sejak tahun 2006 hingga kini.
Dalam suratnya, Frengki menjelaskan bahwa keluarganya telah menguasai dan menggarap sebidang tanah adat di Jalan Intipura, Kelurahan Malawili, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, sejak 1988. Tanah tersebut diperoleh berdasarkan surat pelepasan hak dari Suku Moi, Marga Osok Tlipla selaku pemilik hak ulayat.
Namun, saat mengajukan sertifikat ke Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong pada 2006, Frengki mendapat penolakan dengan alasan tanah tersebut berstatus tanah transmigrasi yang sudah bersertifikat atas nama Christina Banne Datu sejak 1992.
Frengki mengaku telah berupaya melacak keberadaan pemilik sertifikat tersebut, termasuk melalui kantor kelurahan dan Dinas Dukcapil Kabupaten Sorong. Hasilnya, berdasarkan keterangan resmi, nama Christina Banne Datu tidak pernah ditemukan sebagai penduduk di wilayah Kabupaten Sorong maupun dalam data kependudukan nasional.
“Pihak Suku Moi, Marga Osok Tlipla, telah menegaskan bahwa tanah ini adalah hak ulayat mereka, tidak pernah disengketakan, tidak pernah dijual-belikan, bebas dari pembebanan, dan belum pernah disertifikatkan. Namun, hingga saat ini pihak Pertanahan tetap mengklaim tanah tersebut sudah bersertifikat atas nama pihak yang tidak jelas keberadaannya,” tulis Frengki dalam surat terbuka itu.
Melalui surat tersebut, Frengki meminta Ketua MRP PBD untuk memfasilitasi pertemuan bersama pihak-pihak terkait, termasuk Bupati Sorong, Kantor Pertanahan, perwakilan Suku Moi, LMA Malamoi, serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Ia berharap MRP dapat memberikan rekomendasi agar sertifikat lama atas nama Christina Banne Datu dibatalkan dan diterbitkan sertifikat baru atas nama dirinya.
“Menurut logika hukum yang sehat, harus ada orang terlebih dahulu baru ada sertifikat. Masa tidak ada orang tetapi ada sertifikat, ini patut dipertanyakan, ada apa di balik ini?” tegas Frengki.
Surat terbuka ini menjadi bentuk harapan agar MRP PBD sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua dapat membantu mencari solusi adil terhadap sengketa tanah adat yang telah berlarut hampir dua dekade. (pic)