Skandal Rekayasa Jabatan di Polikant: Demokrasi Kampus Diperkosa Demi Ambisi Kekuasaan

Bagikan berita ini

Tual,Honaipapua.com, -Aroma busuk sedang menyelimuti Politeknik Perikanan Negeri Tual (Polikant). Proses pemilihan Direktur Polikant periode 2025–2029 yang seharusnya menjadi ajang intelektual dan meritokrasi, justru berubah menjadi arena pembegalan moral dan rekayasa birokrasi yang dilakukan terang-terangan oleh Panitia Pemilihan dengan restu penuh dari Direktur aktif.

Fakta-fakta yang diungkap ke publik menunjukkan bahwa demokrasi akademik kini tengah “diperkosa” secara sistematis di hadapan mata civitas academica.

Rekayasa yang Vulgar dan Tanpa Malu

Dalam dokumen resmi Panitia Pemilihan No. 05/PL.26/PAN.PILDIR/SPb/VII/2025, nama Dr. Usman Madubun, S.Pi., M.Si. dinyatakan lolos sebagai bakal calon direktur dengan dalih telah memiliki jabatan manajerial setara Ketua Jurusan.

Namun, fakta administratif dan struktur organisasi Polikant justru membuktikan sebaliknya: jabatan yang diakui hanyalah Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (UP2M), sebuah unit fungsional non-struktural, bukan jabatan yang diatur dalam Statuta maupun OTK Polikant.

Lebih parah lagi, Usman Madubun hanya pernah menjabat sebagai Plt Ketua Jurusan saat berpangkat III/a (Penata Muda Tingkat I), padahal syarat legal dalam OTK Polikant mensyaratkan minimal pangkat Lektor III/d untuk menduduki jabatan Ketua Jurusan.

Jabatan fiktif, pangkat belum layak, tapi tetap disahkan. Ini bukan lagi kesalahan administratif — ini pemalsuan yang dilakukan dengan sadar.

Dua Nama Layak Dibuang: Kejahatan Moral Terstruktur

Dalam proses seleksi yang cacat ini, dua figur dengan kualifikasi yang jauh lebih unggul justru disingkirkan secara brutal:

Dr. Benediktus Jeujanan, S.Pi., M.Si., dan
Dr. Diana Yolanda Syahailatua, S.Pi., M.Si.

Keduanya telah menjabat sebagai Plt Ketua Jurusan sejak 2022, dengan masa jabatan panjang dan pangkat sah Lektor (III/d). Namun, nama mereka sama sekali tidak masuk dalam radar Panitia.

Pertanyaan kuncinya: Mengapa orang-orang berkualifikasi tinggi disingkirkan, dan justru yang tidak memenuhi syarat disodorkan ke publik sebagai “calon sah”? Jawabannya hanya satu: ada skenario busuk yang sedang dijalankan oleh elite kampus.

Direktur Aktif Jadi Sutradara?

Sumber internal menyebutkan, Panitia Pemilihan tidak independen. Arahan untuk meloloskan Usman Madubun berasal langsung dari Direktur aktif, yang diduga tengah menyusun skema pewarisan kekuasaan melalui “orang dekat”.

Situasi ini menggambarkan kampus bukan lagi tempat nalar berkembang, tapi telah berubah menjadi kerajaan kecil dengan loyalitas sempit dan intrik politik birokratik.

Jika dugaan ini benar, maka Direktur aktif telah menyalahgunakan kewenangannya, memperalat Panitia, dan mempermalukan institusi.

Pembohongan Publik: Tindak Pidana atau Sekadar Etik?

Mempalsukan data riwayat jabatan untuk memenuhi syarat seleksi jabatan publik bukan hanya pelanggaran etik. Ini berpotensi masuk ke ranah tindak pidana penyalahgunaan wewenang, manipulasi dokumen, dan pelanggaran integritas lembaga negara.

Jika kasus ini terjadi di lembaga pemerintahan lain, KPK sudah bisa turun tangan. Maka mengapa Kemendiktisaintek diam?

Institusi Tergadai, Mahasiswa Jadi Korban

Skandal ini bukan hanya soal siapa yang menjadi direktur. Ini soal rusaknya sistem, hancurnya kepercayaan publik, dan lahirnya generasi mahasiswa yang menyaksikan secara langsung bahwa kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan bisa menang — asalkan punya koneksi.

Jika jabatan Ketua UP2M bisa direkayasa jadi setara Ketua Jurusan, maka besok mungkin Kepala Perpustakaan bisa jadi Direktur, dan Kepala UKM bisa jadi Rektor.

Desakan Investigasi Nasional

Kami menyerukan agar Menteri Pendidikan Tinggi Sain dan Teknologi RI, Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, dan Dirjen Vokasi segera mengirim tim independen ke Tual. Tidak cukup dengan klarifikasi — dibutuhkan audit menyeluruh atas proses seleksi, dokumen, dan keputusan panitia.

Jika tidak, maka negara sendiri telah melegalkan proses pencemaran moral di tubuh pendidikan tinggi.

Catatan Sejarah yang Kelam

Tahun 2025 akan tercatat sebagai tahun di mana sebuah politeknik negeri di wilayah timur Indonesia menjadi simbol betapa kekuasaan bisa membungkam kebenaran, dan birokrasi bisa menjadi alat penghancur meritokrasi. Polikant kini berada di persimpangan: kembali ke jalan integritas, atau selamanya dicap sebagai kampus yang mengkhianati nilai-nilai akademik. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Ke atas