Sorong,Honaipapua.com, -Ketua Dewan Adat Suku Besar Moi (Tujuh Wilayah Masyarakat Hukum Adat Suku Moi), Paulus Safisa, S.Th, angkat bicara terkait video dan pemberitaan sejumlah media mengenai perselisihan adat antara dua keluarga besar, yakni Keluarga Mubalus dan Kalawaisa, yang dipicu sengketa hak atas wilayah adat di Saoka, Kota Sorong.
Dalam pernyataan resminya kepada media, Jumat (1/8/2025) sore, Paulus menyoroti tidak dilibatkannya unsur sah adat dalam sidang adat yang digelar pada 28 Juli 2025 di Saoka.
“Sidang tersebut tidak melibatkan Keluarga Besar Mubalus, apalagi saya selaku Ketua Dewan Adat Suku Besar Moi. Prosesnya tidak transparan dan telah melanggar etika serta kode etik adat yang berlaku. Ini mencoreng nilai-nilai adat yang selama ini kita junjung tinggi,” tegas Paulus.
Ia menjelaskan bahwa akar permasalahan seharusnya dikembalikan pada dasar hukum yang kuat. Dalam hal ini, Keluarga Mubalus mengantongi dokumen hukum sah yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Ada tiga dokumen penting yang harus diperhatikan, yakni Surat Keputusan Mahkamah Agung RI No. 240.K/Pdt/2021, Putusan Pengadilan Negeri Sorong No. 25/Pdt.G/2010/PN.Srg, serta Surat Keputusan Ketua Dewan Adat Wilayah Malamoi No.032/DAS-WIL-MOI/SK/IV/2013,” paparnya.
Lebih lanjut, Paulus mengajak kedua keluarga yang berselisih untuk menahan diri dan tidak memperkeruh suasana.
“Kita ini bersaudara. Jangan sampai persoalan ini membuat hubungan kita rusak. Mari kita duduk bersama, bicarakan secara baik-baik, dengan melibatkan pemerintah untuk menguji fakta-fakta lapangan karena ini menyangkut hak ulayat dan identitas,” imbuhnya.
Sementara itu, Keluarga Besar Alm. Efraem Mubalus juga memberikan klarifikasi atas beredarnya video yang menyebut mereka berasal dari Maladofo.
“Benar, kami berasal dari Maladofo. Tapi bukan hanya kami, semua orang Moi di Kota Sorong juga berasal dari sana,” ujar salah satu perwakilan keluarga.
Mereka pun membantah klaim bahwa Keluarga Kalawaisa merupakan penghuni pertama Saoka.
“Justru orang tua kami, Alm. Efraem Mubalus, yang menerima dan membawa mereka ke Saoka setelah diusir dari Mariat Pante. Mereka diizinkan tinggal untuk berkebun dan mencari makan, bukan untuk memiliki atau mengklaim tanah,” tegasnya.
Mengakhiri pernyataannya, Paulus Safisa meminta seluruh tokoh adat dan pihak terkait agar lebih mengedepankan musyawarah mufakat dan tidak mengambil keputusan sepihak demi menjaga marwah adat Moi dan kedamaian masyarakat. (***)